beritasumut.com - Sejak perjanjian Paris Agreement yang disepakati oleh 200 negara di UN Climate Change Conference (COP 21) di Paris pada 2015, sejumlah negara yang terlibat terus melakukan upaya untuk mencapai target nol emisi karbon.
Teranyar pada COP28 yang dilaksanakan di Dubai (30/11), kebijakan pengurangan bahan bakar fosil yang dicapai melalui transisi energi menjadi kesepakatan utama untuk mempercepat target nol emisi bersih pada 2050.
Meski begitu pakar energi Marcus T. Richard, Executive Advisor Boston Consulting Group, mengingatkan bahwa upaya transisi energi merupakan sebuah perjalanan, bukan suatu kejadian yang serta merta.
“Penerapan program dekarbonisasi masih dihadapkan pada tiga isu utama, yakni pendanaan, teknologi, dan SDM. Tak hanya itu, untuk menyeimbangkan energi bersih, setiap sektor yang terlibat harus memperhatikan tiga hal, yakni ketahanan energi, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi. Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan menjadi krusial dalam transisi energi,” jelas Marcus dalam gelaran kuliah tamu di Universitas Pertamina (UPER) bertajuk ‘The Pathways for O&G Companies towards Low Carbon Future’.
Pengembangan SDM memang menjadi faktor kunci dalam akselerasi transisi energi dan menggapai kebutuhan ekonomi hijau. Sebagaimana termaktub pada hasil COP28 mengenai peran generasi muda dan pendidikan iklim, forum tersebut juga membuka ruang bagi institusi pendidikan untuk beroperasi secara berkelanjutan.
Hal ini menjadi angin segar bagi institusi pendidikan untuk melahirkan generasi yang mampu menjawab pengembangan industri hijau di 2030.
“Transisi energi menciptakan peluang karir yang ramah lingkungan atau green jobs. Ini menuntut SDM yang memiliki keterampilan berkelanjutan untuk dapat menjawab kebutuhan akan energi bersih dan energi terbarukan. Kerja sama multi sektor antara industri, pendidikan, dan pemerintah perlu diperkuat untuk mencapai hal tersebut,” ungkap Marcus.
Prof. Dr. Ir. Rudy Sayoga Gautama, IPU., Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Pertamina, dalam kesempatan yang sama mengungkap peran Universitas Pertamina mendukung transisi energi.
“Riset akademis dan praktis yang dilakukan dari kolaborasi para dosen, mahasiswa, dan industri yang diwujudkan melalui 11 Center of Excellence, menjadi strategi untuk mengembangkan kompetensi lulusan yang mampu mendukung transisi energi dan dekarbonisasi. Sustainability Center yang kami bentuk bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi mancanegara, diharapkan dapat menjadi kendaraan untuk riset dan kajian bidang keberlanjutan yang bisa dimanfaatkan semua pihak," ujarnya.
Dalam waktu dekat, lanjut Prof. Rudy, Universitas Pertamina juga akan membuka program studi magister Rekayasa Berkelanjutan. Program ini memiliki visi keilmuan green skills untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan mengatasi tantangan keilmuan.
Pekerja-pekerja Pertamina menunjukkan animo tinggi untuk menempuh pendidikan S2 tersebut. (BS07)