Kolom Penulis

KELEMBAGAAN DESA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Oleh : Arman Chandra*


KELEMBAGAAN DESA DI PROVINSI SUMATERA UTARA
beritasumut.com/ist

1. Pendahuluan.
Provinsi Sumatera Utara berdasarkan data Badan Pusat Statistik Nasional memiliki jumlah penduduk ±14.562.549 yang tersebar di 33 Kabupaten/Kota dengan jumlah kecamatan sebanyak 450 kecamatan dan dengan kondisi desa yang tersebar berjumlah 6.132 desa, menjadikan provinsi Sumatera Utara menjadi urutan ke 4 nasional jumlah desa terbanyak setelah Jawa Tengah, Jawa timur dan D.I. Aceh. Kondisi demikian menuntut kepala daerah provinsi Sumatera Utara dalam hal ini Gubernur Sumatera Utara untuk lebih cermat dalam melakukan pengelolaan terkait pembangunan yang berkaitan dengan desa.


Guna melaksanakan pembangunan desa yang dimaksud, maka Pemprov Sumut telah memberikan tugas dan kewenangan kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) sebagai ujung tombak pemerintah yang bertugas untuk mengelola dan membangun terutama yang berkaitan dengan Desa. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Pemprov Sumut memiliki tugas pokok dan fungsi yaitu melaksanakan urusan pemerintahan daerah atau kewenangan Provinsi salah satunya berkaitan dengan bidang Kelembagaan Desa, dengan menyelenggarakan fungsi merumuskan kebijakan teknis dibidang Kelembagaan Desa, pemberian dukungan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dibidang Kelembagaan Desa, pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang Kelembagaan Desa, serta melaksanakan tugas-tugas pembantuan pemerintahan dibidang Kelembagaan Desa. Sementara dalam melaksanakan tugasnya, kepala bidang (Kabid) kelembagaan desa dibantu oleh para kepala seksi (Kasi) meliputi : a. Kepala Seksi Kelembagaan dan Kerjasama Desa, b. Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi desa, serta c. Kepala Seksi Perlindungan Masyarakat desa adat.


Saat ini, dengan telah dikeluarkannya Undang-Undang tentang Desa yaitu UU RI Nomor 6 Tahun 2014 maka upaya-upaya pembangunan desa dapat lebih fokus dan lebih terarah akan ke arah mana tujuan pembangunan desa yang akan dicapai, sehingga berbagai program dan agenda pemerintah yang sudah disiapkan harus benar-benar tepat sasaran agar hasil pembangunan di kawasan pedesaan dapat lebih dirasakan langsung oleh masyarakar desa setempat. Namun demikian, yang perlu menjadi pertimbangan lain adalah menurut UU RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda bahwa desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, pada pasal lain disebutkan pula bahwa desa sebagai wilayah administrasi bagian dari kabupaten dan sekaligus memberikan kebebasan kepada desa untuk mengaktualisasikan hak asal-usul atau adat setempat. Hal tersebut tentunya dapat menimbulkan ambivalensi posisi desa yang dapat berdampak pada lemahnya kelembagaan desa, terutama di daerah yang masih memiliki adat yang kuat dan beragam dan bentuk kelemahan kelembagaan desa dapat dicermati dalam tiga parameter yaitu struktur pemerintahan, kewenangan, dan keuangan desa.

Perlu diketahui pula, bahwa desa merupakan wilayah yang otonom dan ada sebelum negara ini terbentuk, karena desa memiliki self-governing community, dimana berhak mengatur maupun mengurus dirinya, sehingga desa telah menjadi suatu entitas sosial-politik tersendiri. Akan tetapi, berbagai persoalan kerap timbul dan salah satunya adalah aspek kelembagaan dalam pemerintahan desa yang saat ini telah terbentuk mulai kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Konsekuensinya adalah hilangnya ruang pemerintahan desa untuk mengatur dirinya. Sehingga dalam hal ini pentingnya upaya-upaya penguatan kelembagaan pemerintahan desa terlebih setelah adanya undang-undang tentang desa. Dari beberapa kajian-kajian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa keterbukaan ruang yang dimiliki pemerintah desa saat ini dinilai lebih mendahulukan pembangunan ekonomi semata, namun demikian pada aspek penguatan kelembagaan pemerintahan desa masih terpinggirkan.

Berdasarkan ulasan tersebut diatas, untuk mengelaborasi terkait dengan berbagai permasalahan terkait masih belum optimalnya kelembagaan desa tersebut, maka diperlukan dukungan dari para stakeholder pemerintahan baik mulai dari pusat sampai ke daerah dengan melibatkan konsep Triple Helix meliputi pemerintah, akademisi dan pengusaha, agar upaya penguatan kelembagaan desa menjadi lebih efektif dan berdaya guna dalam mendukung pemerintah mewujudkan program dan agenda pembanguan yang sudah ditetapkan. Namun sampai saat ini beberapa kendala masih dijumpai, diantaranya: keterbatasan kemampuan SDM di desa, minimnya infrastruktur, serta minimnya partisipasi elemen masyarakat desa. Maka pokok permasalahannya adalah: “Bagaimana mengoptimalkan peran kelembagaan desa guna memajukan pembangunan?”


2. Pembahasan.
Kajian Tentang Desa.
Perlu diketahui, bahwa pengertian desa di Indonesia sudah merupakan istilah nasional yang sudah cukup baku digunakan dalam struktur pemerintahan. Meskipun saat ini, masih banyak penduduk desa tertentu yang menggunakan istilah setempat dalam percakapan sehari-hari, misalnya saja, Kuria, Huta (Tapanuli), Kampung (Riau dan Sumatera Barat), Gampong atau Mukim (Aceh) dan sebagainya. Meskipun istilah-istilah tersebut berlainan, tetapi pada dasarnya ciri-cirinya adalah sama dengan apa yang disebut desa (Khairudin Hidayat, 1992 : 4). Kata desa seringkali memberi kesan yang kurang mengenakan, bahkan cenderung sinis. Orang yang tertinggal perkembangan kehidupannya disebut “ndeso”, sedangkan orang yang bertingkahlaku kurang sopan, kurang baik disebut sebagai “kampungan”. Bintarto (1983:2) mengatakan “desa adalah suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya”. Menurut Sutardjo Kartohadikusumo, desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri (Khairudin Hidayat, 1992: 3).

Berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Pasal 1, bahwa pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Latar belakang berdirinya sebuah pemerintahan desa di sebuah wilayah hakekatnya adalah sebagai pemenuhan kebutuhan dasar masyarakatnya, atau sebagai unsur pemerintah yang melayani masyarakatnya. Dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar tentunya desa memiliki urusan untuk menjalankan fungsi dari pemerintahannya. Adapun urusan pemerintahan desa yaitu urusan tata pemerintahan, urusan pemberdayaan masyarakat desa, urusan kesejahteraan masyarakat dan urusan ketertiban lingkungan. Sementara itu urusan pemerintahan desa tersebut, menjadi unit dalam organisasi pemerintahan Desa. Akan tetapi dengan adanya perubahan regulasi pengaturan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, menyebutkan bahwa struktur organisasi pemerintahan desa tidak harus merujuk kepada urusan yang dimlikinya. Namun Kepala Desa berhak mengusulkan struktur organisasi pemerintahan desa dan tata kerja sesuai amanat pasal 26 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada pasal 18 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengatur tentang klasifikasi bidang dalam pemerintahan Desa. Adapun bidang tersebut yaitu penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat desa dengan pengaturan bidang dalam peraturan tersebut, maka struktur organisasi pemerintahan desa akan berganti yang sebelumnya unit teknis disebutnya Kepala urusan menjadi kepala bidang.

Menurut Mithzberg dalam menentukan struktur organisasi ditentukan berdasarkan urusan dan kewenangan organisasi yang melekat. Dalam pemerintahan Desa berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa ada 4 (empat) kewenangan yang melekat dalam pemerintahan Desa, hal tersebut yang perlu dijabarkan dalam bentuk organisasi pemerintahan Desa. Sementara itu, sebelum adanya perubahan peraturan tentang Desa, maka pemerintahan desa menggunakan nama urusan desa sebagai unit teknis organisasi pemerintahan desa, seperti urusan tata pemerintahan, urusan pemberdayaan masyarakat desa, urusan kesejahteraan masyarakat, dan urusan ketertiban lingkungan. Seperti halnya model organisasi desa yang dimiliki oleh pemerintahan provinsi Sumatera Utara yang cukup beragam dengan berbagai jenis karakter desa, sehingga dengan adanya peraturan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, maka perlu adanya upaya revitalisasi kelembagaan pemerintahan Desa di provinsi Sumatera Utara agar lebih tertata dan dan berdaya guna perannya bagi pembangunan desa.

Pada umumnya pengertian desa dikaitkan dengan pertanian, yang sebenarnya masih bisa didefinisikan lagi berdasarkan pada jenis dan tingkatannya. Menurut Koentjaraningrat mendefinisikan desa itu sebagai komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat (Rahadjo, 2010 : 29) sedangkan menurut P.H Landis terdapat tiga definisi tentang desa yaitu: pertama desa itu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2.500 orang, kedua desa adalah suatu lingkungan yang penduduknya mempunyai hubungan yang saling akrab serba informal satu sama lain, dan yang ketiga desa adalah suatu lingkungan yang penduduknya hidup dari pertanian. Sedangkan menurut Koentjaraningrat “desa adalah suatu komunitas kecil yang menetap secara tetap di suatu tempat”. Adapun Karakteristik desa sangat diperlukan adanya pembagian desa atau biasa disebut dengan tipologi desa. Tipologi desa itu sendiri akan mudah diketahui jika dihubungkan dengan kegiatan pokok yang ditekuni oleh masyarakat itu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, adapun pembagiannya sebagai berikut (Jefta Leibo, 1995: 18) sebagai berikut: 1) Desa Pertanian: semua kegiatan masyarakatnya terlibat dalam bidang pertanian. 2) Desa Industri : pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari lebih banyak bergantung pada sektor industri baik industri kecil maupun industri besar. 3) Desa Nelayan atau Desa Pantai: pusat kegiatan dari seluruh anggota masyarakatnya bersumber pada usaha-usaha di bidang perikanan baik perikanan laut, pantai, maupun darat, 4) Desa Pariwisata : Pada jenis desa ini terdapat obyek wisata seperti peninggalan-peninggalan kuno, keistimewaan kebudayaan rakyat, dan juga terdapat keindahan alam.

Kebudayaan yang terdapat pada masyarakat desa masih tergolong masuk dalam kategori yang belum maju dan masih sederhana. Kebanyakan orang menganggap bahwa masyarakat desa khususnya masyarakat petani masih dianggap secara umum yang mana mereka dianggap seragam atau sama antara masyarakat petani yang satu dengan yang lain. Kenyataannya malah berbanding terbalik dimana masing-masing petani memiliki ciri yang berbeda misalnya saja pada tingkat perkembangan masyarakatnya, teknologi atau alat-alat pertanian yang mereka pergunakan, sistem pertanian yang mereka pakai, dan juga topografi atau bentuk kondisi phisik geografiknya. Masyarakat petani dibagi menjadi dua yaitu petani tradisonal dan petani modern, yang membedakan antara keduanya adalah bagi kelompok petani yang pertama mereka masih tergantung dan ditentukan oleh alam karena masih rendahnya teknologi dan pengetahuan mereka, produksi yang mereka hasilkan hanya untuk usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menghidupi keluarganya, dan tidak mengejar keuntungan sedangkan kelompok petani modern lebih mengutamakan mendapatkan keuntungan juga menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan yang modern.


Permasalahan Kelembagan Desa.
a. Kendala Dalam Struktur Pemerintahan Desa.

Pada dasarnya secara prinsip, desa adat dan desa administratif seperti kelurahan memiliki struktur birokrasi pemerintahan yang sangat berbeda, dimana desa adat memiliki struktur birokrasi yang berbeda di setiap daerah. Adapun yang menjabat dalam kepemimpinan desa umumnya diangkat dan diberhentikan atas dasar musyawarah, keturunan, atau kasta. Sistem penggajian atau renumerasi diberikan berasal dari sumber daya alam desanya. Sedangkan struktur birokrasi disusun berdasarkan urusan-urusan yang ada di desa tersebut. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan desa administratif atau yang lebih jelas dapat dicermati sebagai kelurahan. Secara struktur birokrasi ditentukan oleh pemerintah di atasnya, sehingga perangkat desanya dapat berstatus pegawai negeri sipil (PNS).

Dengan adanya UU tentang Pemda, pemerintah memiliki konsep dengan mencoba menggabungkan antara desa adat dan desa administrasi, sehingga bangunan struktur birokrasi desa terkesan menjadi kurang jelas. Dalam UU tersebut mengatur bahwa kepala desa dipilih secara langsung, sementara sekretaris desanya dapat dijabat oleh PNS, sedangkan perangkat desa lainnya dapat diangkat oleh kepala desa dengan kedudukan sebagai pelaksana teknis daerah dan unsur kewilayahan yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Kondisi demikian terkesan cukup mengundang polemik dan hal ini merupakan aspek kelemahan kelembagaan desa yang seringkali menimbulkan kecemburuan, ketidakpuasan dan bahkan penyebab terjadinya konflik dalam kelembagaan desa, salah satunya yang kerap terjadi adalah upaya demonstrasi oleh para perangkat desa yang menuntut status ingin menjadi PNS adalah salah satu contoh bentuk dari ketidakpuasan tersebut.

Sebagai konsekuensi dari akibat dari pemaksaan pencampuran kewenangan adat dan administrasi negara kedalam satu struktur birokrasi, maka kelembagaan pemerintahan desa tidak dapat berjalan optimal. Bahkan di beberapa desa di berbagai daerah di Indonesia khususnya Sumatera Utara misalnya tidak memiliki perangkat desa yang utuh karena terhambat persoalan kasta, bahkan ada beberapa kepala desa yang merangkap sebagai kepala adat namun menggunakan aturan yang ada untuk mendudukan anggota keluarganya (anak) sebagai sekretaris desa karena ada jaminan status PNS pada posisi jabatan ini. Kondisi demikian sangat jelas berpotensi menimbulkan konflik, setidaknya dapat mengganggu pemerintahan desa karena kecemburuan perangkat desa lainnya yang tidak memiliki status PNS.

Yang tidak kalah pelik lagi adalah persoalan yang berkaitan dengan “kelembagaan desa” dimana masa jabatan pada lembaga-lembaga desa seperti kepala desa, BPD, dan perangkat desa lainnya. Akan tetapi, kondisi ini menimbulkan ambigu, dimana pemerintah memberi peluang terhadap mekanisme pemilihan, namun disisi lain pemerintah telah membatasi masa jabatan kepala desa dan BPD. Sebagai rekomendasi apabila pemerintah benar-benar mengakui dan menghargai kearifan lokal pada tiap-tiap desa, maka seharusnya masa jabatan lembaga-lembaga desa tersebut tidak harus dibatasi, karena karakter setiap desa telah memiliki tradisi kuat yang sulit diintervensi dan diseragamkan oleh Negara. Namun demikian, apabila pemerintah memang menghendaki pembatasan masa jabatan pada lembaga-lembaga desa ini untuk kepentingan urusan pemerintahan formal, sehingga perlu disiapkan pula terkait solusi yang berkaitan kewenangan adat, agar jangan sampai rotasi jabatan pemerintahan administratif akan mengganggu keberlangsungan desa adat lokal.

b. Polemik Kewenangan Desa.

Perlu dipahami pula, bahwa apabila dilihat berdasarkan hak asal-usul desa, maka hampir setiap desa memiliki kekhasan jenis kewenangan dan cara mengelola kewenangan tersebut. Namun demikian, kondisi tersebut agak terganggu dengan dalih meningkatkan pembangunan nasional, maka pemerintah cenderung menjalankan kewenangannya hingga ke wilayah desa. Sebagai akibatnya, perangkat desa tidak hanya mengurusi kewenangan aslinya tetapi juga menjalankan urusan kabupaten dan tugas pembantuan dari propinsi dan pemerintah pusat. Oleh sebab itu perangkat desa merasa kewenangan yang dijalankannya terlalu besar dan tidak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan. Apabila desa diposisikan sebagai kesatuan masyarakat adat, maka rekomendasinya bahwa jenis kewenangan desa seharusnya diserahkan kepada kebutuhan komunitasnya, sehingga pemerintah tidak perlu mengatur kewenangan kultural desa di dalam peraturan termasuk perda, bahkan dalam UU.

Namun demikian, jika pemerintah pusat masih berkepentingan untuk meningkatkan pembangunan desa, maka rekomendasi yang harus dijalankan adalah perlu adanya upaya penataan yang terpisah untuk lembaga-lembaga yang menangani kewenangan administratif dan adat. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah lebih mempertegas pengaturan kewenangan administratifnya dan sebaiknya disesuaikan dengan desain struktur birokrasi formal beserta pembiayannya, sedangkan hal-hal yang berakitan dengan urusan adat tetap diakui tetapi pengorganisasiannya dan diserahkan kepada lembaga-lembaga adat yang ada di tiap-tiap desa.

c. Masalah Penggunaan Keuangan Desa.

Faktor keuangan desa merujuk kepada kemampuan masyarakat desa dalam mencukupi dan mengalokasikan sumber-sumber ekonomi. Seperti dijelaskan dalam regulasi seperti UU dan PP, sumber ekonomi desa berasal dari kekayaan asli desa dan bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah sudah termasuk bagi hasil pajak dan retribusi kabupaten. Cukup lumrah apabila selama ini masyarakat desa menuntut pemerintah untuk mengalokasi anggaran sebesar 10% dari APBN langsung untuk desa, hal ini karena ada dua faktor, yaitu faktor keterbatasan masyarakat desa dalam menggali ekonomi di masing-masing wilayahnya serta relatif masih rendahnya alokasi anggaran desa yang dari kabupaten.

Pemerintah sangat menyadari bahwa kondisi masing-masing desa masih sangat tergantung pada bantuan pemerintah, dan pemerintah pun sudah semestinya menyadari bahwa kemampuan tiap-tiap kabupaten berbeda untuk mengalokasikan anggaran kepada desa cukup terbatas. Ada kabupaten yang bertahan hidup dengan hanya bertumpu pada DAU (dana alokasi umum). Dirasa cukup sulit dan kurang relevan bagi suatu kabupaten tertinggal semacam ini harus memberikan alokasi anggaran kepada desa, terlebih biaya untuk penyelenggaraan untuk pilkades harus menjadi tanggungjawab kabupaten sendiri.

Permasalahan lainnya, jika desa masih ditempatkan menjadi bagian dari kabupaten, maka rekomendasi yang seharusnya pemerintah lakukan adalah agar terus memantau kemampuan kabupaten dalam menyediakan anggaran bagi desa-desanya. Pemerintah dapat memberikan bantuan kepada desa berupa dana alokasi khusus (DAK) melalui kabupaten yang tidak mampu. Bantuan kepada desa melalui DAK ini harus diprioritaskan untuk memberdayakan masyarakat desa agar mampu menggali dan memberdayakan berbagai potensi sumber ekonomi desa dan sekaligus mengurangi ketergantungan desa terhadap bantuan dari pemerintah. Satu hal rekomendasi penting lainnya adalah terkait alokasi anggaran untuk kesejahteraan perangkat desa. Apabila pemerintah cukup kesulitan mengatur proporsi penghasilan aparat desa, maka seharusnya seluruh perangkat desa yang berurusan dengan administrasi pemerintahan sebaiknya dijabat oleh PNS. Selain untuk menghindari kecemburuan, kebijakan ini dirasakan cukup adil memberikan kesejahteraan bagi perangkat desa. Alokasi untuk gaji perangkat desa ini otomatis termasuk dalam DAU kabupaten/kota. Sedangkan gaji perangkat kelembagaan adat dialokasikan dari hasil pendapatan asli desa, jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan desa masing-masing.

Pertimbangan Terkait Kelembagaan Desa
Dengan telah adanya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, maka perkembangan Kelembagaan dalam Pemerintahan Desa mengalami dinamika yang mampu memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. Kemampuan masyarakat desa memiliki sarana dalam menggalang prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa untuk kesejahteraan bersama. Kesiapan kelembagaan pemerintahan desa merupakan salah satu syarat berhasilnya pelaksanaan undang-undang desa tersebut. Kondisi demikian terjadi karena kelembagaan pemerintahan desa menjadi tumpuan maupun penggerak pelaksanaan undang-undang desa. Dalam pelaksanaan undang- undang tersebut, pemerintah desa terdiri atas kelembagaan pemerintah desa, perangkat desa, Badan Permusyawaratan Desa, LKMD, PKK, Karangtaruna, UPK, RW dan RT. Selain itu, dalam wilayah desa dibentuk susunan pemerintahan, yaitu adanya dusun atau dapat disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal-usul, adat-istiadat, dan nilai sosial-budaya masyarakat desa.

Sesuai dengan perkembangannya, bahwa pembangunan desa yang dilakukan senantiasa menggunakan skema pendampingan yang dimaksudkan agar penggunana alokasi dana desa yang digunakan dapat lebih tepat sasaran dan dimaksimalkan agar sesuai dengan arah pembangunan. Pendampingan desa dilakukan oleh pemerintah melalui Kemendagri maupun Kemendesa. Pendamping desa dari Kemendagri berasal dari kecamatan, sedangkan pendamping desa dari Kemendesa berasal dari pihak luar, yang mana hampir sama dengan konsep PNPM. Pendampingan tersebut tidak hanya sebatas pada peningkatan ekonomi masyarakat, melainkan juga pada peningkatan kemampuan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa maupun partisipasi dalam kelembagaan desa. Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu upaya dalam melaksanakan pembangunan desa yang diharapkan dapat ditingkatkan sehingga terbentuk masyarakat desa yang partisipatif dan upaya penguatan partisipasi masyarakat dapat menjadi solusi proses pembangunan desa.

Selain faktor pemerintah desa dan juga masyarakat desa, terdapat juga peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang memiliki fungsi terkait dengan pembahasan dan menyepakati secara bersama rancangan peraturan desa dengan kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, melakukan pengawasan kinerja kepala desa. Terkait dengan sebagai representasi aspirasi masyarakat desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki ketentuan terkait jumlah anggota yang mengharuskan dalam jumlah ganjil, dimana paling sedikit 5 orang anggota dan paling banyak 9 orang serta berdasarkan pada wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan keuangan desa. Periode masa jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sama dengan masa jabatan kepala desa, dimana menjabat selam 6 tahun, dan paling banyak 3 kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Sebagai rekomendasi, bahwa pelaksanaan pembangunan desa sesuai dengan amanat yang tercantum dalam UU Desa adalah berangkat dari konstruksi dari self-governing community. Sehingga, perlu adanya penguatan pengembangan kapasitas masyarakat desa berdasarkan pada swakelola. Adapun terkait dengan “kelembagaan desa” memang hal ini memiliki usaha yang lebih dari sekedar pendampingan. Hal ini dikarenakan terkait dengan identitas masyarakat yang ada sehingga dapat membangun partisipasi maupun kelembagaan desa sesuai dengan keistimewaan hak asal-usul maupun kearifan lokal yang dimiliki oleh masing- masing desa.

3. Penutup.
Bahwa dengan mengakui dan mengembangkan eksistensi desa merupakan suatu amanah konstitunsi UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dimana dengan adanya berbagai perubahan sosial yang terjadi perlu diikuti oleh dinamika perkembangan pemerintahan di desa, mengingat desa mempunyai wilayah, sumber daya lokal dan penduduk yang menjadi basis penghidupan bagi sebagian rakyat Indonesia. Keberhasilan pembangunan desa harus menjadi indikator pembangunan Indonesia, mengingat jumlah desa yang tersebar di Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 6.132 desa dan penduduk yang tinggal di desa berkisar 60%-70%. Dengan demikian, pembangunan desa ke depan harus dapat dijadikan sebagai fokus pembangunan, agen pembangunan, fasilitator dan akselelator pembangunan bagi masyarakat.


Yang menjadi point penting bukan masalah homogenitas penyelenggaraan pemerintahan desa maupun keraguan kemampuan pemerintah desa, tetapi lebih kepada pemerintah desa dapat melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal atau pun hak asal-usul yang dimiliki sehingga tujuan mensejahterakan masyarakat desa terwujud. Hal tersebut seharusnya lepas dari intervensi pemerintah pusat, yang bertujuan agar dapat mengakui, mengakomodasi, dan merawat perbedaan dan keunikan yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat desa.

*Penulis adalah Tokoh Masyarakat Sumut, Alumni PPRA 61 Lemhannas RI


Tag: